Festival Keistimewaan Yogyakarta 2025

Ketika Generasi Muda Menjadi Penjaga Masa Depan Budaya

Media FKY2025

12/2/20254 min read

Yogyakarta—Pada sebuah pagi yang bening di 28 November 2025, suasana halaman DPAD Perpustakaan Provinsi DIY berbeda dari hari biasanya. Tidak ada keheningan khas perpustakaan, tidak ada langkah pelan para pengunjung yang tenggelam dalam buku. Sebaliknya, ruang itu dipenuhi denting gamelan yang mengalun dari tangan-tangan muda, suara persiapan para pelajar, dan kain jarik serta sinden yang berkibar ringan tertiup angin. Ratusan siswa SMA/SMK/MA dari seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta berkumpul dengan wajah berbinar, membawa rebana, kendang, bonang, dan lembaran geguritan yang diselipkan rapi di antara buku catatan mereka. Mereka tidak datang untuk lomba biasa. Mereka datang untuk merayakan perjalanan budaya yang jauh lebih tua dari usia mereka sendiri, dalam Festival Keistimewaan Yogyakarta 2025.

Acara ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY bekerja sama dengan DPAD DIY, dengan tujuan memperkuat identitas budaya dan karakter generasi muda melalui Pendidikan Khas Kejogjaan. Dalam festival dua hari ini, budaya tidak diperlakukan sebagai masa lalu yang disimpan di museum, tetapi sebagai jalan hidup yang harus dijalani, dihidupi, dan dilanjutkan. Dan tepat pukul sembilan pagi, tokoh sentral di balik penyelenggaraan kegiatan ini, Kepala Disdikpora DIY, Drs. Suhirman, M.Pd, berdiri di panggung kehormatan untuk membuka festival secara resmi. Dengan suara mantap dan tatapan yang hangat, beliau menyampaikan bahwa generasi muda adalah pewaris keistimewaan yang tidak boleh kehilangan akar sejarah, tak peduli seberapa cepat dunia bergerak.

Saat tangan Drs. Suhirman mengetuk gong pembuka, gamelan langsung menyambut dengan denting yang memenuhi udara, seolah menjawab seruan bahwa budaya tidak boleh hanya dikenang—ia harus hidup dan terus bergerak. Penampilan karawitan dari AKN Seni dan Budaya Yogyakarta menyatu dengan tepuk tangan panjang, menandai dimulainya festival. Para pelajar, guru, pejabat, dan tamu undangan berdiri bersama dalam suasana yang terasa seperti upacara batin: mengingat kembali siapa kita sebagai masyarakat Yogyakarta.

Hari pertama festival dipenuhi dialog dan perjumpaan kultural. Para pelajar duduk beralaskan tikar, menyimak kisah panjang tentang busana gagrak Yogyakarta dan sejarah Kraton yang dibawakan oleh para abdi dalem, yang berbicara dengan suara lembut namun membawa wibawa sejarah ratusan tahun. Mereka menjelaskan bagaimana setiap lipatan jarik, posisi keris, dan sudut tubuh dalam berdiri mengajarkan filosofi hidup: tentang kesantunan, kendali diri, penghormatan, dan kesabaran. Beberapa pelajar terlihat terdiam lama, seolah baru pertama kali menyadari bahwa tradisi bukan sekadar estetika yang dipertontonkan, melainkan pelajaran karakter yang harus dihayati.

Dari panggung kecil yang dipasang di halaman perpustakaan, iringan karawitan dan tari dari SMAN 1 Pundong, SMAN 1 Bantul, SMKN 1 Girimulyo, dan SMKN 2 Yogyakarta menghadirkan energi yang menyapu ruang seperti angin besar. Suara gamelan menggema, menyatu dengan suara tepuk tangan yang kuat dan mata berkilat bangga. Guru-guru, para orang tua, dan pejabat daerah terlihat menahan senyum haru. Mereka sedang menyaksikan masa depan budaya berdiri tegak di panggung sederhana itu.

Hari kedua festival berlangsung lebih riuh, seperti gelombang yang memuncak. Para pelajar yang terlibat sejak subuh mempersiapkan kostum, menyetel nada, dan mencoba menenangkan rasa gugup. Di wajah mereka terlihat tekad yang jarang terlihat di kelas formal—ketegangan yang dibalut cinta terhadap tradisi. Karawitan SMAN 2 Ngaglik, Tari SMKN 1 Depok, dan penampilan pelajar lainnya mengisi pagi itu dengan energi yang menggetarkan. Beberapa pelajar saling menggenggam tangan sebelum tampil, memberi isyarat bahwa budaya juga adalah soal kebersamaan.

Puncak emosional festival hadir ketika K.H. Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) memasuki ruang talkshow. Suara beliau yang tenang namun kuat mengisi ruangan, mengajak generasi muda merenungkan masa depan aksara Jawa di tengah dunia digital. “Kalau sistem teknologi kita memakai aksara Jawa sebagai sandaran,” ujarnya, “anak-anak akan tumbuh dengan identitas yang kokoh, seperti anak Cina, Jepang, dan Korea yang tidak pernah kehilangan aksara mereka.” Kata-kata itu mengendap di hati banyak orang, menghadirkan kesadaran bahwa globalisasi tidak pernah netral. Ada identitas yang dipertaruhkan jika kita tidak berhati-hati.

Melanjutkan dialog, Drs. Bambang Wisnu Handoyo, M.M, membahas tentang tata kelola Dana Keistimewaan (Danais) sebagai komponen penting menjaga keberlangsungan program keistimewaan. Ia menyinggung bagaimana pada 2014 dana sempat hanya terserap 50–60% karena keterlambatan pencairan. “Keistimewaan bukan hanya budaya,” katanya tegas, “tetapi juga profesionalisme, kolaborasi, dan manajemen yang bertanggung jawab.” Tepuk tangan panjang pecah lagi, menandai kekuatan perspektif yang dihadirkan.

Suasana festival mencapai momen paling lembut dan membanggakan ketika final lomba macapat dan geguritan digelar. Suara-suara remaja membaca tembang dan puisi Jawa dengan penuh penghayatan membuat suasana berubah hening khusyuk. Ketika nama Naufal Ahmad (SMK 2 Wonosari) diumumkan sebagai Juara 1 Macapat, dan Lucia Rahajeng Anastiti (SMA 1 Seyegan) sebagai Juara 1 Geguritan, sorak tepuk tangan membuncah. Dan tepat saat itulah, Kepala Disdikpora DIY, Drs. Suhirman, M.Pd, kembali naik ke panggung—kali ini bukan untuk membuka acara, tetapi untuk menyerahkan hadiah langsung kepada para pemenang. Senyumnya tulus, tangannya mantap, seolah menyampaikan bahwa penghargaan ini bukan sekadar simbol kemenangan, tetapi tanda bahwa harapan budaya telah menemukan pemilik baru.

Menjelang sore, saat gamelan terakhir mereda dan kursi mulai dibereskan, Drs. Suhirman kembali mengambil mikrofon untuk menutup Festival Keistimewaan Yogyakarta 2025. Suaranya pelan namun penuh kekuatan, mengajak seluruh peserta untuk menjadikan festival ini bukan akhir, melainkan permulaan. “Budaya tidak boleh berhenti di panggung,” ucapnya, “Budaya harus terus kita jalani dalam keseharian kita.” Saat kata-kata itu bergema, beberapa pelajar yang duduk di tangga perpustakaan tampak menunduk dalam, memegangi kendang dan naskah geguritan yang sudah kusut. Salah satu dari mereka berkata perlahan, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan pada dirinya sendiri: “Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?”

Festival berakhir, tetapi sesuatu yang jauh lebih besar baru saja dimulai. Dari ruang kecil perpustakaan itu, dari tangan-tangan muda yang lelah namun bangga, dari budaya yang tidak pernah padam, Yogyakarta sekali lagi membuktikan bahwa keistimewaan bukan sekadar label administratif. Ia adalah napas sejarah yang dihidupkan oleh generasi yang mengerti apa yang sedang mereka warisi.

Dan di bawah langit Yogyakarta yang temaram, sebuah keyakinan tumbuh: budaya akan terus hidup selama kita berani mencintainya. Riska – Media FKY2025